Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu
Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, pada hadis ke-20, disebutkan :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ
تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ، رَوَاهُ البُخَارِيْ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian
terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut terdapat di dalam kitab Shahih Al-Bukhari (Fat-hul Bari – 6/515), dan terdapat pula di dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan selainnya. Derajat hadis tersebut sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Albani rahimahullah (Ash-Shahihah – 684).
***
Berbicara tentang akhlak
para Nabi memang selalu mengundang decak kagum luar biasa. Baik tingkah
laku maupun tutur kata semuanya dihiasi dengan akhlak yang memesona.
Maka sudah selayaknya bagi kita selaku umat Muslim untuk meneladani
mereka, terutama dalam akhlak yang begitu melekat pada sosok mereka.
Salah satu sifat yang menghiasi diri para Nabi adalah malu, sebagaimana
yang disinggung di dalam hadis di atas. Pada artikel singkat ini,
penulis akan mengutip beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadis di
atas.
Biografi Singkat Uqbah bin ‘Amir
Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Badri adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang
sering meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara
para sahabat ini mengikuti baiat Aqabah di kala masih muda. Ia tidak
mengikuti perang Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga
dikenal dengan Al-Badri. Ketika Ali bin Abi Thalib ingin beranjak
menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud untuk menjadi penggantinya
di Kufah. Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.
Malu, Warisan Para Nabi
Malu adalah akhlak yang diwariskan oleh
para nabi secara turun-temurun. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus
melainkan memiliki sifat malu. Hal ini telah dikenal luas oleh manusia.
Malu adalah satu di antara akhlak yang
diperintahkan oleh setiap nabi. Ia tidak pernah terhapus dari syariat
sejak dahulu. Tak pernah sekalipun absen ataupun vakum barang sejenak
dari teladan para nabi tiap generasi.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/497), “Sabda Nabi, ‘Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu’
mengisyaratkan bahwa sifat malu merupakan warisan yang telah terdapat
sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Manusia dari generasi ke generasi
selanjutnya senantiasa saling mewarisi akhlak terpuji ini. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa kenabian terdahulu telah membawa perkataan ini, dan
terus menyebar di kalangan manusia hingga akhirnya sampai pada generasi
pertama umat Islam ini”.
Malu, Fitrah Manusia
Malu merupakan fitrah manusia. Bahkan
secara khusus, sifat malu telah menghiasi jiwa kaum Arab sejak masa
Jahiliyah. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Sufyan ketika masih
berstatus kafir. Ketika itu, Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius perihal
Rasulullah. Ia malu untuk berdusta sehingga rasa malu tersebut
membuatnya menceritakan sosok Rasulullah yang sebenarnya. Abu Sufyan
bertutur,
لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْت
“Jika bukan karena rasa malu atas tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, niscaya aku pasti akan berdusta” (HR. Bukhari)
Sifat malu telah mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Hal itu tergambar jelas dari ungkapan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada salah seorang pemuda dari kaum Bani Jusyam yang tengah kabur dari medan peperangan. Abu Musa berkisah,
فَلَمَّا رَآنِي
وَلَّى عَنِّي ذَاهِبًا فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ أَلَا
تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
“Ketika ia melihatku, ia pun berlari dariku. Aku pun
mengejarnya. Aku lantas berteriak kepadanya, ‘Tidakkah engkau malu lari
dariku? Bukankah engkau pemuda Arab? Berhenti dan bertarunglah
denganku!” Akhirnya tak lama kemudian ia pun berhenti. (HR. Muslim)
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya sifat malu. Ia adalah fitrah manusia yang salim.
Berbuatlah Sesuka Hatimu, Jika Tak Malu
Sebagian ulama bersilang pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu”.
Pertama, ucapan ini
mengandung makna ancaman. Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika
engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu! Allah akan membalasmu atas
apa yang pernah engkau kerjakan!”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Berbuatlah apa yang kalian kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan”(QS. Fushshilat: 40)
Kedua, ungkapan
tersebut bukanlah ancaman, melainkan bermakna kabar atau informasi.
Maksudnya, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat
apa yang ia mau. Karena pencegah dari perbuatan keji nan mungkar adalah
rasa malu. Jika seseorang tidak memelihara bunga malu di taman hatinya,
maka ia akan terjerumus ke dalam lumbung maksiat dan dosa. Hal ini
seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, ada juga
sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut dimaknai secara
zahirnya. Maksudnya, jika seseorang menilai suatu perbuatan tidak
membuatnya malu, baik itu menurut pandangan Allah ataupun manusia, baik
memang sebuah ketaatan atau perangai yang baik, dan segala akhlak yang
tidak bertentangan dengan kemaksiatan, maka silakan baginya melakukan
hal itu sesuka hatinya.
Malu, Akhlak Terpuji
Setelah mengetahui bahwa malu adalah
warisan para nabi terdahulu, maka tidak pelak lagi bahwa malu merupakan
sifat yang terpuji dan sudah selayaknya terpatri dalam jiwa muslim
sejati. Ada banyak hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mengisahkan tentang indahnya akhlak ini. Di antara keistimewaan
sifat malu ialah malu dapat menghadirkan kebaikan di dalam jiwa seorang
insan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata tentang sifat ini,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman
seorang hamba tidak akan sempurna sampai cahaya malu terpancar dari
relung hatinya, lantas menyinari tiap sudut sanubari. Karena sifat malu
juga bagian dari keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan,
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَان
“Sifat malu adalah satu di antara cabang-cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang menghalangi manusia dari menelusuri jalan-jalan kemaksiatan,
menyelewengkan insan hingga berpaling dari jalan kebaikan.
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang bagaikan tameng, mencegah manusia dari buruknya dan rendahnya
akhlak tercela, serta tingkah laku yang dipandang hina dari kacamata
fitrah manusia.
Inilah akhlak
yang terpuji. Sifat malu yang menjadi pembeda antara insan dan hewan.
Indikasi kecintaan Allah kepada manusia. Dengannya Allah menjaga manusia
dari segala macam sifat yang memalukan.
Akhir kata, semoga Allah menganugerahi
kita semua rasa malu di dalam diri-diri kita, sehingga dengan sifat malu
tersebut kita terhalangi dari jalan-jalan menuju api neraka.
Daftar Pustaka
-
Abdulmuhsin Al-Abbad Al-Badr. 1424. Fat-hu Al-Qawiyy Al-Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimm al-Khamsin (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir : Dar Ibn ‘Affan.
-
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala. Maktabah Syamilah.
-
Muhammad Nashirudin Al-Albani. As Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah. Maktabah Syamilah.
-
Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin (Jilid ke-3, cetakan ke-2). Damam – Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzy.
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah : Ustadz Muhsan Syarafuddin, Lc., M.H.I.
Dari artikel 'Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu — Muslim.Or.Id'
Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu
Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, pada hadis ke-20, disebutkan :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ
تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ، رَوَاهُ البُخَارِيْ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian
terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut terdapat di dalam kitab Shahih Al-Bukhari (Fat-hul Bari – 6/515), dan terdapat pula di dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan selainnya. Derajat hadis tersebut sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Albani rahimahullah (Ash-Shahihah – 684).
***
Berbicara tentang akhlak
para Nabi memang selalu mengundang decak kagum luar biasa. Baik tingkah
laku maupun tutur kata semuanya dihiasi dengan akhlak yang memesona.
Maka sudah selayaknya bagi kita selaku umat Muslim untuk meneladani
mereka, terutama dalam akhlak yang begitu melekat pada sosok mereka.
Salah satu sifat yang menghiasi diri para Nabi adalah malu, sebagaimana
yang disinggung di dalam hadis di atas. Pada artikel singkat ini,
penulis akan mengutip beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadis di
atas.
Biografi Singkat Uqbah bin ‘Amir
Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Badri adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang
sering meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara
para sahabat ini mengikuti baiat Aqabah di kala masih muda. Ia tidak
mengikuti perang Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga
dikenal dengan Al-Badri. Ketika Ali bin Abi Thalib ingin beranjak
menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud untuk menjadi penggantinya
di Kufah. Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.
Malu, Warisan Para Nabi
Malu adalah akhlak yang diwariskan oleh
para nabi secara turun-temurun. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus
melainkan memiliki sifat malu. Hal ini telah dikenal luas oleh manusia.
Malu adalah satu di antara akhlak yang
diperintahkan oleh setiap nabi. Ia tidak pernah terhapus dari syariat
sejak dahulu. Tak pernah sekalipun absen ataupun vakum barang sejenak
dari teladan para nabi tiap generasi.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/497), “Sabda Nabi, ‘Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu’
mengisyaratkan bahwa sifat malu merupakan warisan yang telah terdapat
sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Manusia dari generasi ke generasi
selanjutnya senantiasa saling mewarisi akhlak terpuji ini. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa kenabian terdahulu telah membawa perkataan ini, dan
terus menyebar di kalangan manusia hingga akhirnya sampai pada generasi
pertama umat Islam ini”.
Malu, Fitrah Manusia
Malu merupakan fitrah manusia. Bahkan
secara khusus, sifat malu telah menghiasi jiwa kaum Arab sejak masa
Jahiliyah. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Sufyan ketika masih
berstatus kafir. Ketika itu, Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius perihal
Rasulullah. Ia malu untuk berdusta sehingga rasa malu tersebut
membuatnya menceritakan sosok Rasulullah yang sebenarnya. Abu Sufyan
bertutur,
لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْت
“Jika bukan karena rasa malu atas tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, niscaya aku pasti akan berdusta” (HR. Bukhari)
Sifat malu telah mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Hal itu tergambar jelas dari ungkapan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada salah seorang pemuda dari kaum Bani Jusyam yang tengah kabur dari medan peperangan. Abu Musa berkisah,
فَلَمَّا رَآنِي
وَلَّى عَنِّي ذَاهِبًا فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ أَلَا
تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
“Ketika ia melihatku, ia pun berlari dariku. Aku pun
mengejarnya. Aku lantas berteriak kepadanya, ‘Tidakkah engkau malu lari
dariku? Bukankah engkau pemuda Arab? Berhenti dan bertarunglah
denganku!” Akhirnya tak lama kemudian ia pun berhenti. (HR. Muslim)
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya sifat malu. Ia adalah fitrah manusia yang salim.
Berbuatlah Sesuka Hatimu, Jika Tak Malu
Sebagian ulama bersilang pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu”.
Pertama, ucapan ini
mengandung makna ancaman. Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika
engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu! Allah akan membalasmu atas
apa yang pernah engkau kerjakan!”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Berbuatlah apa yang kalian kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan”(QS. Fushshilat: 40)
Kedua, ungkapan
tersebut bukanlah ancaman, melainkan bermakna kabar atau informasi.
Maksudnya, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat
apa yang ia mau. Karena pencegah dari perbuatan keji nan mungkar adalah
rasa malu. Jika seseorang tidak memelihara bunga malu di taman hatinya,
maka ia akan terjerumus ke dalam lumbung maksiat dan dosa. Hal ini
seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, ada juga
sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut dimaknai secara
zahirnya. Maksudnya, jika seseorang menilai suatu perbuatan tidak
membuatnya malu, baik itu menurut pandangan Allah ataupun manusia, baik
memang sebuah ketaatan atau perangai yang baik, dan segala akhlak yang
tidak bertentangan dengan kemaksiatan, maka silakan baginya melakukan
hal itu sesuka hatinya.
Malu, Akhlak Terpuji
Setelah mengetahui bahwa malu adalah
warisan para nabi terdahulu, maka tidak pelak lagi bahwa malu merupakan
sifat yang terpuji dan sudah selayaknya terpatri dalam jiwa muslim
sejati. Ada banyak hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mengisahkan tentang indahnya akhlak ini. Di antara keistimewaan
sifat malu ialah malu dapat menghadirkan kebaikan di dalam jiwa seorang
insan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata tentang sifat ini,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman
seorang hamba tidak akan sempurna sampai cahaya malu terpancar dari
relung hatinya, lantas menyinari tiap sudut sanubari. Karena sifat malu
juga bagian dari keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan,
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَان
“Sifat malu adalah satu di antara cabang-cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang menghalangi manusia dari menelusuri jalan-jalan kemaksiatan,
menyelewengkan insan hingga berpaling dari jalan kebaikan.
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang bagaikan tameng, mencegah manusia dari buruknya dan rendahnya
akhlak tercela, serta tingkah laku yang dipandang hina dari kacamata
fitrah manusia.
Inilah akhlak
yang terpuji. Sifat malu yang menjadi pembeda antara insan dan hewan.
Indikasi kecintaan Allah kepada manusia. Dengannya Allah menjaga manusia
dari segala macam sifat yang memalukan.
Akhir kata, semoga Allah menganugerahi
kita semua rasa malu di dalam diri-diri kita, sehingga dengan sifat malu
tersebut kita terhalangi dari jalan-jalan menuju api neraka.
Daftar Pustaka
-
Abdulmuhsin Al-Abbad Al-Badr. 1424. Fat-hu Al-Qawiyy Al-Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimm al-Khamsin (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir : Dar Ibn ‘Affan.
-
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala. Maktabah Syamilah.
-
Muhammad Nashirudin Al-Albani. As Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah. Maktabah Syamilah.
-
Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin (Jilid ke-3, cetakan ke-2). Damam – Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzy.
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah : Ustadz Muhsan Syarafuddin, Lc., M.H.I.
==========Dari artikel 'Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu — Muslim.Or.Id'
Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu
Dalam kitab Al-Arba’in An-Nawawiyah, pada hadis ke-20, disebutkan :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ
عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَنْصَارِي البَدْرِي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ
مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ
تَسْتَحِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ، رَوَاهُ البُخَارِيْ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amr Al-Anshari Al-Badri radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian
terdahulu ialah: Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesuka hatimu” (HR. Bukhari)
Hadis tersebut terdapat di dalam kitab Shahih Al-Bukhari (Fat-hul Bari – 6/515), dan terdapat pula di dalam kitab Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, dan selainnya. Derajat hadis tersebut sahih, sebagaimana dinyatakan oleh Al-Albani rahimahullah (Ash-Shahihah – 684).
***
Berbicara tentang akhlak
para Nabi memang selalu mengundang decak kagum luar biasa. Baik tingkah
laku maupun tutur kata semuanya dihiasi dengan akhlak yang memesona.
Maka sudah selayaknya bagi kita selaku umat Muslim untuk meneladani
mereka, terutama dalam akhlak yang begitu melekat pada sosok mereka.
Salah satu sifat yang menghiasi diri para Nabi adalah malu, sebagaimana
yang disinggung di dalam hadis di atas. Pada artikel singkat ini,
penulis akan mengutip beberapa pelajaran yang terkandung dalam hadis di
atas.
Biografi Singkat Uqbah bin ‘Amir
Uqbah bin ‘Amr bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Badri adalah salah satu di antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sahabat yang memiliki kunyah Abu Mas’ud ini termasuk sahabat yang
sering meriwayatkan hadis. Abu Mas’ud yang tergolong ulama di antara
para sahabat ini mengikuti baiat Aqabah di kala masih muda. Ia tidak
mengikuti perang Badar, akan tetapi pernah turun ke sumur Badar hingga
dikenal dengan Al-Badri. Ketika Ali bin Abi Thalib ingin beranjak
menemui Muawiyah, Ali mengangkat Abu Mas’ud untuk menjadi penggantinya
di Kufah. Abu Mas’ud wafat sekitar tahun 40 H di Kufah.
Malu, Warisan Para Nabi
Malu adalah akhlak yang diwariskan oleh
para nabi secara turun-temurun. Tidak ada seorang nabi pun yang diutus
melainkan memiliki sifat malu. Hal ini telah dikenal luas oleh manusia.
Malu adalah satu di antara akhlak yang
diperintahkan oleh setiap nabi. Ia tidak pernah terhapus dari syariat
sejak dahulu. Tak pernah sekalipun absen ataupun vakum barang sejenak
dari teladan para nabi tiap generasi.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata di dalam Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam (1/497), “Sabda Nabi, ‘Sesungguhnya di antara ungkapan yang telah dikenal oleh manusia dari ucapan kenabian terdahulu’
mengisyaratkan bahwa sifat malu merupakan warisan yang telah terdapat
sejak zaman nabi-nabi terdahulu. Manusia dari generasi ke generasi
selanjutnya senantiasa saling mewarisi akhlak terpuji ini. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa kenabian terdahulu telah membawa perkataan ini, dan
terus menyebar di kalangan manusia hingga akhirnya sampai pada generasi
pertama umat Islam ini”.
Malu, Fitrah Manusia
Malu merupakan fitrah manusia. Bahkan
secara khusus, sifat malu telah menghiasi jiwa kaum Arab sejak masa
Jahiliyah. Salah satu contohnya adalah kisah Abu Sufyan ketika masih
berstatus kafir. Ketika itu, Abu Sufyan ditanya oleh Heraklius perihal
Rasulullah. Ia malu untuk berdusta sehingga rasa malu tersebut
membuatnya menceritakan sosok Rasulullah yang sebenarnya. Abu Sufyan
bertutur,
لَوْلَا الْحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْت
“Jika bukan karena rasa malu atas tudingan dusta yang akan mereka lontarkan kepadaku, niscaya aku pasti akan berdusta” (HR. Bukhari)
Sifat malu telah mendarah daging di kalangan bangsa Arab. Hal itu tergambar jelas dari ungkapan Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu kepada salah seorang pemuda dari kaum Bani Jusyam yang tengah kabur dari medan peperangan. Abu Musa berkisah,
فَلَمَّا رَآنِي
وَلَّى عَنِّي ذَاهِبًا فَاتَّبَعْتُهُ وَجَعَلْتُ أَقُولُ لَهُ أَلَا
تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
أَلَا تَسْتَحْيِي أَلَسْتَ عَرَبِيًّا أَلَا تَثْبُتُ فَكَفَّ
“Ketika ia melihatku, ia pun berlari dariku. Aku pun
mengejarnya. Aku lantas berteriak kepadanya, ‘Tidakkah engkau malu lari
dariku? Bukankah engkau pemuda Arab? Berhenti dan bertarunglah
denganku!” Akhirnya tak lama kemudian ia pun berhenti. (HR. Muslim)
Kisah-kisah di atas menggambarkan betapa pentingnya sifat malu. Ia adalah fitrah manusia yang salim.
Berbuatlah Sesuka Hatimu, Jika Tak Malu
Sebagian ulama bersilang pendapat mengenai makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu”.
Pertama, ucapan ini
mengandung makna ancaman. Maksud dari ungkapan tersebut adalah, “Jika
engkau tidak malu, berbuatlah sesuka hatimu! Allah akan membalasmu atas
apa yang pernah engkau kerjakan!”. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Berbuatlah apa yang kalian kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kalian kerjakan”(QS. Fushshilat: 40)
Kedua, ungkapan
tersebut bukanlah ancaman, melainkan bermakna kabar atau informasi.
Maksudnya, jika seseorang tidak memiliki rasa malu, maka ia akan berbuat
apa yang ia mau. Karena pencegah dari perbuatan keji nan mungkar adalah
rasa malu. Jika seseorang tidak memelihara bunga malu di taman hatinya,
maka ia akan terjerumus ke dalam lumbung maksiat dan dosa. Hal ini
seperti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار
“Siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempatnya di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketiga, ada juga
sebagian ulama yang berpendapat bahwa hadis tersebut dimaknai secara
zahirnya. Maksudnya, jika seseorang menilai suatu perbuatan tidak
membuatnya malu, baik itu menurut pandangan Allah ataupun manusia, baik
memang sebuah ketaatan atau perangai yang baik, dan segala akhlak yang
tidak bertentangan dengan kemaksiatan, maka silakan baginya melakukan
hal itu sesuka hatinya.
Malu, Akhlak Terpuji
Setelah mengetahui bahwa malu adalah
warisan para nabi terdahulu, maka tidak pelak lagi bahwa malu merupakan
sifat yang terpuji dan sudah selayaknya terpatri dalam jiwa muslim
sejati. Ada banyak hadis-hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
yang mengisahkan tentang indahnya akhlak ini. Di antara keistimewaan
sifat malu ialah malu dapat menghadirkan kebaikan di dalam jiwa seorang
insan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur kata tentang sifat ini,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sifat malu itu tidaklah mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Iman
seorang hamba tidak akan sempurna sampai cahaya malu terpancar dari
relung hatinya, lantas menyinari tiap sudut sanubari. Karena sifat malu
juga bagian dari keimanan seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda ketika menjelaskan tentang cabang-cabang keimanan,
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَان
“Sifat malu adalah satu di antara cabang-cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang menghalangi manusia dari menelusuri jalan-jalan kemaksiatan,
menyelewengkan insan hingga berpaling dari jalan kebaikan.
Inilah akhlak yang terpuji. Sifat malu
yang bagaikan tameng, mencegah manusia dari buruknya dan rendahnya
akhlak tercela, serta tingkah laku yang dipandang hina dari kacamata
fitrah manusia.
Inilah akhlak
yang terpuji. Sifat malu yang menjadi pembeda antara insan dan hewan.
Indikasi kecintaan Allah kepada manusia. Dengannya Allah menjaga manusia
dari segala macam sifat yang memalukan.
Akhir kata, semoga Allah menganugerahi
kita semua rasa malu di dalam diri-diri kita, sehingga dengan sifat malu
tersebut kita terhalangi dari jalan-jalan menuju api neraka.
Daftar Pustaka
-
Abdulmuhsin Al-Abbad Al-Badr. 1424. Fat-hu Al-Qawiyy Al-Matin fi Syarh al-Arba’in wa Tatimm al-Khamsin (Cetakan ke-1). Kairo – Mesir : Dar Ibn ‘Affan.
-
Muhammad bin Ahmad Adz-Dzahabi. Siyar A’lam an-Nubala. Maktabah Syamilah.
-
Muhammad Nashirudin Al-Albani. As Silsilah Al Ahadits Ash-Shahihah. Maktabah Syamilah.
-
Salim bin ‘Ied Al-Hilali. Bahjah an-Nazhirin Syarh Riyadh ash-Shalihin (Jilid ke-3, cetakan ke-2). Damam – Arab Saudi: Dar Ibn al-Jauzy.
Penulis: Roni Nuryusmansyah
Muraja’ah : Ustadz Muhsan Syarafuddin, Lc., M.H.I.
==========Dari artikel 'Sifat Malu, Warisan Para Nabi Terdahulu — Muslim.Or.Id'
No comments:
Post a Comment